”Aji, Ibu mau berhenti kerja ya..”
Kalimat tersebut muncul saat aku sedang asik berbincang di tengah kemacetan kotak Jakarta 4 bulan yang lalu. Tersentak dan mencoba mencari tahu apa yang melatarbelakangi pemikiran istri ku itu.
Setelah pindah kerja ke kantornya yang baru, cerita ceria dan lucu selalu meluncur manis. Aku merasa di kantor barunya itu dia menemukan sebuah lingkungan ”keluarga” yang hangat dan harmonis. Ada apa gerangan?
”Ibu hanya ingin fokus kepada Nara, apalagi Nara sudah minta sekolah”, begitu jawabnya. Hatiku tersenyum bahagia. Aku sungguh senang memiliki istri yang luar biasa ini. Dengan pendidikannya yang tinggi, dia mau melakukan pekerjaan yang kata sebagian orang ”hanya” ibu rumah tangga.
Dia sempat bertanya apakah aku tidak malu memiliki istri yang ”hanya” seorang ibu rumah tangga? Aku hanya bisa tersenyum. Aku mengatakan bahwa tidak pernah sedikitpun terlintas untuk merasa malu jika istriku menjadi ibu rumah tanggga. Bagiku, ibu rumah tangga ada pekerjaan yang paling mulia dan tinggi di dunia karena surat tugasnya langsung di tanda tangani olehNya.
Namun, jika kemudian hari dia rindu dan ingin kembali ke pekerjaan kantor yang dia cintai, aku tidak akan pernah melarangnya, karena semua yang telah dia lakukan adalah demi cinta, cinta yang tulus dan tiada henti untuk keluarga kecil kami.