Senin, 04 September 2017

Nilai Yang Abadi

Beberapa hari yang lalu, aku membaca sebuah berita tentang Ahok di media online. Sudah lama juga tidak kudengar berita tentangnya. Namun entah kenapa, begitu aku baca berita itu, rasa sedih menyelubungi kalbu. Kangen rasanya akan sosok Ahok yang selalu menyampaikan pikiran dan tindangan dengan lugas, jujur dan tanpa kompromi.

Dia yang tidak menjual kemiskinan untuk sebuah suara, mengangkat harkat dan derajat orang banyak justru dengan teganya disakiti seperti itu. Mungkin baru sebatas ini kemampuan dan kecerdasan berdemokrasi di bangsa ku tercinta ini, begitu aku menerka-nerka melihat apa yang sudah terjadi.

Aku disini sedih, mungkin Ahok disana sedang bermeditasi, menyelami setiap sudut ruang kehidupan dan spiritualnya. Aku yakin setelah keluar nanti, dia akan menjadi sosok yang lebih kuat dan lebih bersinar.

Sosoknya memang selalu dinanti dan dirindukan. Namun walau sosok dan raganya dipenjara, pikiran dan nilai-nilai yang sudah dia ciptakan akan selalu abadi dan menjadi panutan bagi kita semua yang mencitai negara ini.  

Kasih Sayang dan Keadilan Tuhan

Tahun 2015 adalah tahun yang berat bagiku. Tahun dimana aku merasa berada pada titik nadir dalam karir dan pekerjaanku setelah melalui tahun-tahun yang luar biasa dan penuh karunia.

Hari-demi hari aku lalui dengan berat hati, seolah-olah rasa syukur menjahui diri. Bulan berlalu dan tak terasa sudah hampir 4 bulan aku merasa seperti ini. Sampai pada suatu hari, saat pulang kantor, aku terjebak dalam kemacetan yang luar biasa. Dengan pikiran yang carut marut, aku memasang handsfree dan memencet sebuah nomor telepon. Aku menelepon istriku.

Cerita mengalir sederas air sungai mengalir. Semua aku tumpahkan karena dia adalah lautan yang luas yang bisa menamung air sungai yang kotor ini. Dibalik telepon, aku dengar dia tersenyum. Tidak ada nada emosi, hanya nada yang sejuk.

Banyak hal yang dia sampaikan dan membuat aku tersentak. Ternyata, sengaja atau tidak sengaja aku sudah melakukan kesalahan yang fatal. Tanpa kusadari, setelah melalui tahun-tahun yang luar biasa, aku lupa diri. Syukur terucap, namun ego pun meningkat. Kebanggaan diri naik, kesadaran diri menurun.

Apa yang terjadi dengan diriku? Apakah Tuhan tidak sayang lagi kepadaku? Aku masih memanjatkan doa kehadapanNya. Namun kenapa bisa begini?

Dari ujung telepon, dia tersenyum. Iya, kebiasaan mu memang masih sama. Tapi coba dipikir dan direnungkan kembali. Belakangan ini, itu kegiatan ritual atau spiritual? Terhenyak dan terhentak aku dibuatnya. Ternyata belakangan waktu ini aku ”lupa” dan ”menjauh” darinya.

Kembali aku mendengar nasehatnya. Tuhan itu sayang banget sama kamu, namun jangan lupa Tuhan itu juga maha adil. Sekarang Tuhan sedang ”menyentil” kamu supaya kamu kembali berpijak ke bumi dan tidak melayang diangkasa.

Tak terasa, air mata menetes. Aku terdiam. Semua yang dikatakannya benar. Dalam sisa perjalanan pulang, aku merenung semua ucapanya dan masih bersyukur bahwa aku masih selamat sampai saat ini. Keyakinanku semakin kuat. Tuhan Maha Penyayang dan Maha Adil. Aku cuma bisa memohon, jika aku salah, maka Tuhan menghukumku dengan Kasih SayangNYa, dan bukan KeadilanNya, seperti hukuman kasih sayang yang sudah pernah aku rasakan tahun 2015.