Jumat, 22 Juni 2012

Bakmi GM

”Aji, Nara laper. Nara mau makan disini aja”. Begitu rayu Nara ketika kami sedang asyik jalan-jalan disebut pusat perbelanjaan untuk mencari baju ”Putri” kesukaan Nara. Pertanyaan mulai berkecambuk di kepala. Lalu aku mengusulkan agar kita makan di Bakmi GM saja. Selain praktis, harga juga relative terjangkau bagiku.

Begitu kami tiba, antrian sudah panjang, Maklum sudah jam makan siang memang. Namun karena sudah niat, kami mengambil nomor antrian dan menunggu dengan manis. Tidak lama kemudian kami mendapat tempat.

Tidak butuh lama untuk menentukan menu apa yang jadi santapan siang karena selama menunggu menu itu sudah melayang-layang dikepala siap untuk dilahap. Sambil menunggu pesanan tiba, aku melihat sekeliling. Banyak keluarga kecil seperti kami, dan beberapa juga sudah berusia lanjut bersama anaknya.

Tiba-tiba tatapan tertuju pada sesesok lelaki yang duduk di ujung sana. Kira-kira sekitar 45-50 usinya. Begitu lahapnya menyantap mie ayam. Tak terasa hatiku merasa sedih dan merasakan kerinduan yang luar biasa atas sosok Papa.

Dulu, selama aku kuliah, Papa beberapa kali mengunjungi ku di Depok. Entah dalam rangka sekalian tugas atau memang sengaja untuk sekedar menjengukku. Setiap kali pula, Papa minta diantarkan untuk makan Bakmi GM. Kalau belum makan Bakimi GM, belum ke Jakarta, katanya. Dari Depok, aku dan Papa menggunakan kereta ekonomi ke arah Mangga Dua untuk menikmati Bakmi GM dan sekalian belanja pakaian. Sampai sebelum Papa berpulangpun, setiap kali ke Jakarta, Bakmi GM selalu kami nikmati.

”Silahkan”, pramusaji restoran memberikan menu kami. Akupun terbangun dari lamunanku. Sambil menikmati mie ayam, aku kembali merasakan nikmatnya saat bersantap bersama Papa dulu.

Kini walau Papa sudah tidak ada, aku masih tetap menjadi pelanggan setianya. Rasa masakannya tidak pernah berubah, namun hanya suasanya yang berubah. Tidak ada kehadiran Papa disana.

I Miss U Pap...

Perempuan - Perempuan Karunia Tuhan

Terjadi sekitar hampir 2 tahun aku harus ”mengalah” tidur di kasur kecil karena Nara tidur dengan ibunya di tempat tidur. Kasur di kamarku memang kecil, hanya cukup untuk 2 orang. Dengan semakin besarnya Nara ditambah gaya tidurnya yang tidak bisa tenang, maka aku harus tergusur ke bawah ditemani kasur busa nan tipis.

Kadang badan terasa pegal karena busa semakin menipis sedangkan badanku bertambah besar dan tambun. Biarkanlah lemak ini menjadi pengganti kasur busa, pikirku. Syukur walau sering tidur di bawah, aku sangat jarang sakit. Mungkin karena aku menjalaninya dengan bahagia dan senang hati. Senang dan bahagia melihat mereka tidur dengan nyaman dan lelap.

Waktu berlalu dan kita memutuskan untuk mengganti kasur yang kecil dengan ukuran yang lebih besar. Dengan sedikit modifikasi di kamar, maka muatlah kasur besar itu diletakkan di kamar. Sejak saat itu aku kembali bisa tidur bersama di tempat tidur.

Di kasur yang baru, kami mempunyai lokasi atau spot favorit untuk tidur. Lokasi mepet dengan tembok adalah lokasi Nara dan tidak bisa di ganggu gugat. Istriku tercinta memilih lokasi di paling pinggir karena lebih ”aman” dari kung fu Nara. Nah aku tidak ada pilihan, tidur di bagian tengah, diapit oleh 2 perempuan, perempuan-perempuan tercantik dan terhebat di dunia. Setiap menoleh ke salah satu sisi, maka akan ada selalu yang bisa membuatku tersenyum bahagia. Perempuan-perempuan karunia Tuhan yang selalu mengapit disaat tidurku. Begitu indahnya.