Senin, 14 September 2009

Flash Back

Usia Nara sudah hampir menginjak 6 bulan. Sebentar lagi Nara akan kami perkenalkan dengan makanan pendamping ASI. Kalau ingat masa-masa itu, aku bisa tersenyum-senyum sendiri.

Awal tahun 2009, kandungan istriku sudah mulai besar. Perutnya pun semakin buncit. Tidak tahan berlama-lama berkendara walau bantal sudah mengganjal di punggungnya. Akhirnya untuk sementara aku memutuskan”pindah rumah” ke kawasan setiabudi.

Setiap pagi, aku mengantarkan istriku jalan-jalan pagi di Taman Suropati, taman yang indah dan nyaman di tengah kota Jakarta. Dengan perut buncitnya dia masih sempet berpose dengan lucunya.




Waktunya pun tiba. Kami berangkat ke RS Bunda Jakarta. Masuk ke ruang pra bersalin, istriku mulai menjalani tes CTG. Tampak raut wajah bahagia campur takut terpancar jelas. Hasilnya pun terlihat bagus dan normal.



Setelah hampir 12 jam menunggu, Nara tak kunjung lahir. Hasil test terakhir menunjukan kalau Nara terlilit tali pusar di leher. Dokter tidak memberikan lagi kami pilihan. Istriku harus di operasi. Takut akan jarum suntik membuat air matanya membasahi pipinya melebihi takut karena persalinan.


Dan akhirnya lahirlah Nara, anak yang telah kami nantikan untuk mengisi rumah kecil kami yang hangat. Nara telah menjadi putri di istana kecil kami.

Ini kira-kira wajah Nara waktu berumur 1-2 minggu.



Ini dia foto terakhir Nara sayang dengan Ibu tercinta. I love you both.




Kamis, 03 September 2009

Percaya Kata Hati

Saat itu, mungkin memang bukan yang pertama kali aku melihat wajahmu. Namun, aku merasa seakan-akan saat itulah aku melihatmu untuk kali pertama.

Saat itu, seolah-olah aku berada pada dunia dengan dimensi yang lain. Semua teka-teki terpecahkan. Senyumanmu jauh menusuk lubuk hatiku. Mulai saat itu, aku selalu teringat wajah dan senyummu.

Waktu berlalu, semakin hari semakin aku mengenal dirimu. Dalam waktu yang singkat itu, ada rasa yang aneh timbul. Kenapa dalam waktu sesingkat itu aku merasa telah mengenal kamu beberapa tahun?

Aku percaya dengan kata hatiku. Setiap langkahku hanya tertuju padamu. Dalam keramaian, dimana semua orang berteriak, aku hanya dapat mendengar suaramu.

Sejak saat itu, aku merasa untuk selalu dekat denganmu. Aku tidak mau melewatkan momen tanpa dirimu. Bersamamu, hidupku terasa lengkap. Aku mempercayai kata hatiku. Dia berbicara kalau kamu adalah pendamping yang pas untuk hidupku.

Gempa Bumi

Selasa pagi cuaca masih terlihat mendung. Ini mungkin sisa awan hujan yang kemarinnya deras membasahi Jakarta. Hawa masih terasa dingin menusuk. Tidak ada tanda-tanda akan terjadinya suatu bencana.

Aku masih duduk di depan meja kerjaku bercengkrama dengan beberapa kawan, asyik mendiskusikan temuan audit mengenai suatu transaksi. Temuan selesai kita bahas, tiba-tiba kursi dan meja terasa bergoyang. Semakin lama semakin keras. ”Gempa”, begitu teriak rekan-rekan kerjaku. Aku mencoba tenang. Namun goncangan (7,3 SR) semakin lama semakin keras dan berlangsung dalam waktu yang lebih lama dari gempa yang dulu pernah rasakan.

Mual dan rasa takut menjadi satu. Aku hanya bisa tertunduk di meja kerjaku. Sambil berdoa, aku teringat wajah anak dan istriku. Apa kabarnya mereka? Ketakutan semakin memuncak kala goncangan tak kunjung berhenti. Pasrah, hanya itu yang bisa aku lakukan.

Setelah sekian lama, goncangan mereda, aku dan rekan-rekan seruangan mulai berhamburan turun. Mencari jalan yang paling cepat untuk keluar dari gedung. Sesampai di bawah aku berusaha menghubungi anak dan istriku. Tapi tidak bisa. Panik mulai menyerang kembali. Bagaimana keadaan mereka?

Syukur tiba-tiba ponsel ku berbunyi. Oh itu kabar dari istriku. Satu kecemasan hilang. Dia baik-baik saja. Namun gimana kabar anakku? Tak berapa lama kemudian, istriku mengabarkan kalau Nara dan Mbak Sum baik-baik saja. Hilang semua kekhawatiran.

Bergegas aku pulang ke rumah. Melihat senyum mereka berdua, bahagia rasanya. Terima kasih Tuhan, aku masih diberi waktu untuk menyayangi dan melihat mereka berdua. Dua orang yang sangat aku cintai yang telah memberikanku semangat dan kekuatan.