Selasa, 23 Februari 2010

Pardiman

Namanya Pardiman. Sosoknya kurus dan tinggi. Kulitnya pun rada gelap tersembur panasnya sinar matahari di persimpangan jalan plaza cibubur yang selalu sibuk.

Setiap hari aku berangkat kantor pukul 6 pagi. Kira-kira butuh waktu 15 menit untuk aku tiba di persimpangan plaza cibubur. Aku melihat sosok Pardiman lengkap dengan jaket hijau stabilo dengan tulisan ”POLISI” di punggungnya sedang beraksi. Berbekal pluit dan pentungan plastik yang tampak lusuh melaksanakan tugas pada jam dimana sebagian orang masih tertidur lelap.

Beberapa saat aku tidak dapat melihat Pardiman. Kemana dia? Sedang istirahatkah? Tiba-tiba dari balik tikungan dia muncul dengan sebuah galah bambu yang panjang seperti orang olah raga lompat galah. Mau apa dia? Ternyata lampu lalu lintas di atas tidak berapa pada posisi yang sepatutnya. Dengan berusaha keras mengarahkan galah saktinya dia berhasil memperbaiki posisi lampu lalu lintas itu. Secercah senyum muncul dari wajahnya.

Pritttt....Pardiman memberhentikan beberapa buah mobil pagi itu. Mereka melanggar lampu lalu lintas dan rambu lalu lintas. Dengan percaya diri para pengemudi berusaha mendekati Pardiman yang tampak tenang, berusaha jalan ”damai”. Senyum kecut tiba-tiba merona dari wajah para pengemudi begitu Pardiman memberi mereka surat tilang. Tidak ada jalan ”damai” darinya.

Aku tiba di cibubur sekitar pukul 8 malam. Dia masih disana dengan pakaian lengkapnya. Aku sampai bertanya dalam hati. ”Emang jam kerja polisi dari jam brapa ke jam brapa ya?” Mungkin sampai jalanan terlihat lancar dan tidak membutuhkan bantuannya, begitu pikirku.

Pardiman. Sosok polisi jujur, penuh dedikasi dan tanggung jawab. Walau aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku sangat berharap semoga Pardiman selalu diberi kesehatan, rejeki dan kebahagian untuk dirinya dan keluarganya.

Rabu, 17 Februari 2010

Hymne

Entah mengapa tiba-tiba aku teringat lagu Hymne Almamater Universitas Indonesia. Namun aku sama sekali tidak bisa mengingat lirik maupun nadanya sedikitpun. Padahal itu salah satu lagu favoritku.

Tanpa menunda waktu, aku segera mencarinya melalui fasilitas google di HP ku. Dalam sekejap aku berhasil menemukan liriknya. Seketika itu juga aku berhasil mengingat Nadanya.

Begini syair Hymne nya:

Almamaterku setia berjasa
Universitas Indonesia
Kami wargamu
Bertekad bersatu
Kami amalkan Tri Dharma mu
Dan Mengabdi Tuhan
Dan Mengabdi Bangsa
Dan Negara Indonesia

Cipt. HS Mutahar

Setelah berhasil bersenandung dalam hati, ingatanku kembali ke rumah mungilku di cibubur. Aku membayangkan 2 sosok perempuan yang sangat aku cintai, Istri dan anakku Nara.

Lagu Hymne itu benar-benar membuat jantungku bergetar. Tak pernah menyangka aku bisa masuk dan lulus disana. Sekarang, aku bisa memperoleh nikmat untuk mengabdi. Seperti lirik diatas, Mengabdi kepada Tuhan, Bangsa dan Negara Indonesia, tentu saja mengabdi kepada Keluarga tercintaku, berusaha membuat mereka selalu bahagia dan tersenyum ceria.

Terima kasih almamaterku.

I Did My Part

Aku seperti dejavu. Pikiranku kembali kepada masa-masa itu. Masa dimana aku mengalami suatu perasaan yang gundah karena sedang menanti sesuatu yang sangat aku harapkan.

Waktu itu aku hanya bisa merenung di teras atas sambil memperhatikan rumah kaca yang berisi tanaman percobaan para mahasiswa sebuah universitas swasta yang tampak menghijau dari kejauhan. Kadang kala banyak orang yang bermain bola di lapangan sekitar rumah kaca itu. Ingin rasanya turut bermain, namun tak satupun dari mereka yang aku kenal.

Sambil memegang sebuah buku dan gitar aku mulai menghibur hatiku. Walau aku tidak mahir dalam memainkannya, namun beberapa buah lirik lagu dapat mengaburkan kegundahan hatiku.

Begitu lagu selesai aku mainkan, kembali aku tertunduk dan bertanya dalam hati. Apa yang salah dari proses ini?Kenapa yang aku harapkan tak kunjung datang?

Waktu itu ada seorang temanku memberiku suatu nasihat yang sangat mujarab. Dia mengatakan bahwa kita hanya bisa melihat beberapa langkah kedepan, tapi Tuhan bisa melihat jauh lebih jauh daripada yang kita bayangkan. Tuhan pasti sudah menyiapkan suatu rencana besar dan indah buatku. Begitu katanya.

Sekarang, aku mengalami hal yang sama lagi seperti masa-masa itu. Nasehat mujarab yang aku peroleh dulu ternyata masih belum mampu meredam kegelisahan hatiku. Apakah ini berarti keyakinanku berkurang kepadaNYA? Atau pengharapanku yang terlalu besar melebihi pengharapanku dimasa lampau?

Dalam sebuah bincang – bincang santai di waktu makan siang, salah seorang teman kantorku membaca kegelisahan hatiku. Dia mulai memberiku semangat dan melontarkan sebuah kalimat yang menyentak hatiku.

Keyakinanku kepadaNYA tidak pernah berkurang sedikitpun. Namun mungkin nafsu dan pengharapanku yang terlampau telah menidurkan dan menyamarkan keyakinanku. Sampai pada suatu saat kata-kata itu melegakan semuanya. I did my part, then let’s GOD do the rest. Itulah kata-kata yang menyentak hatiku dan meruntuhkan semua kegundahanku. Hyang Widhi be with me always!!!

Senin, 08 Februari 2010

2 Buah Alasan Utama

Sudah beberapa hari ini jalanan selalu padat merayap. Butuh waktu lebih lama untuk tiba di kantor. Bus yang aku tumpangi pun semakin padat. Hari ini aku heran kenapa bus yang berhenti di hadapanku ini masih menyediakan banyak kursi kosong ya?

Aku mulai memilah-milah kursi mana yang aku pilih untuk duduk. Aku mendapat sebuah kursi kosong disebelah lorong. Bus melaju dengan lambat karena jalanan relatif ramai. Sepanjang jalan banyak juga penumpang yang naik sehingga lambat laun kursi kosong sudah tidak tersisa lagi.

Sampai tiba pada halte terakhir sebelum bus masuk jalan bebas hambatan menuju kota Jakarta tercinta. Ternyata banyak ibu-ibu yang naik dan tidak kebagian tempat duduk. Mereka mulai mencari posisi untuk berdiri yang nyaman karena perjalanan akan memakan waktu yang tidak sebentar. Hati kecilku berontak. Aku tidak tega melihat ibu-ibu itu berdiri. Aku mempersilahkan salah seorang ibu untuk duduk di kursiku. Sebenarnya ada 2 alasan utama kenapa aku melakukannya.

Pertama adalah karena darah orang timur yang masih mengalir deras dalam tubuhku memintaku untuk memperlakukan wanita dalam posisi yang lebih terhormat, dalam hal ini tidak berdiri dalam bus. Walau emansipasi dipekikkan setiap saat, namun hati mengatakan bahwa tenagaku lebih kuat untuk berdiri dibanding dengan mereka.

Yang kedua yaitu aku juga ingin istriku diperlakukan sama oleh orang (khususnya kaum laki-laki) jika saat dia sedang naik bus dan tidak memperoleh tempat duduk. Aku tidak mau dia lelah berdiri dengan beban tas kerja dan tas ASI untuk Nara tercinta yang menggelayut manja di bahu kecilnya.

Bus melaju dengan kencang karena sudah melewati titik macet terakhir di daerah kuningan. Aku pun turun dan siap untuk melakukan aktivitasku dengan hati yang lega dan iklas. Hhhmmm...indahnya.