Selasa, 20 Maret 2018

Seorang Filantropi

Banyak orang berkata padaku. Kenapa penampilanku tidak sesuai dengan title yang tercantum pada kartu namaku? Awalnya, susah juga menjawab pertanyaan itu. Dalam dunia material ini, seseorang kadang dinilai dari apa yang melekat pada dirinya. Perlahan kutarik nafasku dalam, lalu kuhembuskan perlahan.

Aku hanya mencoba hidup secukupnya, mendahulukan kebutuhan dan bukan keinginan. Tampak raut wajahnya tidak puas akan jawabanku karena tidak sesuai dengan kriteria dan standar penampilan yang ada dikepalanya. Aku tersenyum dan menutup pembicaraan itu. Dia temanku dan aku tidak mau berdebat sesuatu hal yang tidak penting dengannya namun bisa merusak hubungan pertemananku.

Nasehat almarhum ayahku masih sangat membekas dan mengalir deras dalam darahku, membentuk karakter dan prinsip hidupku. Dia berpesan padaku, hiduplah dengan berkecukupan dan jangan berlebihan. Beli yang dibutuhkan dan bukan yang diinginkan.

Waktu itu aku masih berumur 7 atau 8 tahun. Masih tinggal sekolah dasar (SD). Ayahku ”hanya” seorang dosen yang sudah ketakar berapa penghasilan tiap bulannya. Namun, di rumah, dia mengajak adik dan 2 orang muridnya untuk tinggal bersama. Dulu aku masih terlalu kecil untuk mengerti semua. Namun sekarang semua terjawab.

Ayahku hidup sesuai dengan prinsipnya. Bahkan tanpa kusadari, dia adalah seorang filantropi. Dengan ”keterbatasan” dana yang dia miliki, dia bisa banyak memberi dan membantu orang lain dan kita tidak pernah merasa kekurangan. Bahagia bisa melihat orang lain bahagai, begitu katanya.

Sekarang aku melihat ayahku dalam diriku. Aku tidak suka mendandani diriku dan aku lebih suka tampil wajar dan pantas menurut nilai yang dianut secara umum dan berusaha semakin banyak berbagi. Itulah aku. 

Tidak ada komentar: