Banyak orang berkata padaku. Kenapa penampilanku
tidak sesuai dengan title yang tercantum
pada kartu namaku? Awalnya, susah juga menjawab pertanyaan itu. Dalam dunia
material ini, seseorang kadang dinilai dari apa yang melekat pada dirinya.
Perlahan kutarik nafasku dalam, lalu kuhembuskan perlahan.
Aku hanya mencoba hidup secukupnya, mendahulukan
kebutuhan dan bukan keinginan. Tampak raut wajahnya tidak puas akan jawabanku karena
tidak sesuai dengan kriteria dan standar penampilan yang ada dikepalanya. Aku
tersenyum dan menutup pembicaraan itu. Dia temanku dan aku tidak mau berdebat
sesuatu hal yang tidak penting dengannya namun bisa merusak hubungan
pertemananku.
Nasehat almarhum ayahku masih sangat membekas dan
mengalir deras dalam darahku, membentuk karakter dan prinsip hidupku. Dia
berpesan padaku, hiduplah dengan berkecukupan dan jangan berlebihan. Beli yang
dibutuhkan dan bukan yang diinginkan.
Waktu itu aku masih berumur 7 atau 8 tahun. Masih
tinggal sekolah dasar (SD). Ayahku ”hanya” seorang dosen yang sudah ketakar
berapa penghasilan tiap bulannya. Namun, di rumah, dia mengajak adik dan 2
orang muridnya untuk tinggal bersama. Dulu aku masih terlalu kecil untuk
mengerti semua. Namun sekarang semua terjawab.
Ayahku hidup sesuai dengan prinsipnya. Bahkan
tanpa kusadari, dia adalah seorang filantropi. Dengan ”keterbatasan” dana yang
dia miliki, dia bisa banyak memberi dan membantu orang lain dan kita tidak
pernah merasa kekurangan. Bahagia bisa melihat orang lain bahagai, begitu
katanya.
Sekarang aku melihat ayahku dalam diriku. Aku
tidak suka mendandani diriku dan aku lebih suka tampil wajar dan pantas menurut
nilai yang dianut secara umum dan berusaha semakin banyak berbagi. Itulah aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar