Suatu hari
seorang sahabat yang baru menikah berkunjung ke rumahku. Dia datang dengan istrinya
yang sekelebat mirip dengan Luna Maya.
“Apa kabar,
sahabat?” begitu aku membuka pembicaraan. Obrolan mengalir ditemani sepiring
pisang goreng dan secangkir kopi 3 in 1. “Anak-anakmu udah pada gede-gede ya Mas
Bud, cewe semua lagi. Senang nanti kalau udah tua ada yang ngurusin dan jagain.
Aku juga kalau nanti punya anak, pengennya punya anak cewe”, begitu dia panjang
berceloteh.
Ku ambil
sepotong pisang goreng yang masih berasap. “Kita yang menginginkan mereka lahir
ke dunia. Kita yang wajib merawat, mendidik dan membesarkan mereka. Kewajibanku
sebagai ayah purna begitu mereka menikah”.
Sambil mengunyah
pisang goreng, kuteruskan penjelasanku. “Kamu tahu kenapa aku dan istri membuat
rumah yang simpel dan mudah diurus? Ini untuk masa tuaku nanti. Sejak sekarang,
aku mulai menata hati dan pikiran untuk tidak membebani anak-anakku dengan “kewajiban”
seorang anak. Bagiku, anak tidak punya kewajiban kepada orang tua karena mereka
tidak berutang kepada ku. Begitu mereka menikah, mereka punya kewajiban terhadap
keluarga mereka masing-masing. Pengharapan akan balas budi itu yang akan
membuat kita nanti menderita”.
“Aku yang berhutang
kepada mereka karena sudah menjadikan ku seorang ayah, peran yang sangat aku
syukuri. Tanpa mereka, maka tidak akan ada diriku sebagai seorang ayah. Akan
aku jaga dan genggam erat tangan mereka sampai tiba saatnya mereka siap aku lepaskan”,
begitu aku menutup penjelasanku.
Aku melihat aura
yang sedikit marah di wajah sahabatku itu. Akupun bertanya kenapa dia marah? Dia
menjawab “kamu meminum kopi dari cangkir ku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar