“Budi, jadinya kamu mau sekolah dimana?” Pertanyaan itu sontak membuatku terbangun dari lamunan panjangku. Papa tiba-tiba bertanya saat kami sedang mengantri di Bank Mandiri, selepas ujian akhir kelas 3 SMA (EBTANAS). Aku mau jadi pilot, begitu impianku sejak SMP dikarenakan saat itu aku ingin sekali bisa naik pesawat terbang namun tidak punya uang. Belum lagi saudaraku sudah bolak-balik naik pesawat dan bercerita bagaimana enaknya terbang, sedangkan aku hanya bisa memandang pesawat mengangkasa.
Waktu berlalu begitu cepat dan akupun berada di penghujung SMA. Aku baru tersadar jika cita-citaku untuk menjadi pilot mulai menjauh karena gigiku tidak sebagus dan serapi Tom Cruise dan aku juga menggunakan kaca mata. Apa yang terjadi? Aku tidak tahu kemana aku melangkah.
Setiap ada kakak kelas yang sudah kuliah datang untuk memberikan informasi mengenai kampus tempat mereka kuliah, seketika aku ingin kesana. Datang dari Brawijaya, ingin kesana. Datang dari UGM, ingin kesana. Datang dari ITB, ingin kesana dan terakhir datang dari UI, ingin kesana. Namun jurusan apa yang akan aku ambil? Tidak tahu!
Aku bukan orang terpintar di sekolah, namun aku punya disiplin yang tinggi dalam belajar. Aku tahu kapan harus bermain bola, dan kapan harus belajar. Hanya itu yang bisa aku banggakan sewaktu sekolah selain pernah menjadi ketua OSIS semasa SMA. Oh ya, selain itu aku juga kesayangan guru karena walau aktif di OSIS, nilaiku lumayan lah.
Setelah aku tersadar oleh pertanyaan Papa, aku melihat pegawai Bank yang memakai kemeja dan dasi. Lalu aku berpikir, kayaknya enak juga kerja di Bank. Kalau kerja di Bank jurusan apa yang akan aku ambil? Kayaknya ekonomi deh, begitu dengan sok tahunya aku berkesimpulan.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil jurusan ekonomi. Lalu kampusnya dimana? Papa dan Mama adalah dosen senior di Universitas Udayana. Namun aku tidak mau kuliah dimana orang tuanya mengajar. Aku tidak mau membebani nama orang tuaku. Aku mau kuliah di luar Bali, begitu tekad ku.
Masa 1998-1999 adalah masa-masa reformasi dimana mahasiswa menjadi motor pergerakan. Di televisi aku melihat jaket kuning ada dimana-mana dan aku tahu kalau jaket kuning itu adalah jaket almamater Universitas Indonesia. Keren ya, aku mau kuliah disana!
Aku aktif bertanya ke guru BP apakah formulir dari UI sudah ada mengingat kampus-kampus lain sudah mengirimkan formulir untuk Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK) atau masuk universitas tanpa test.
Berbekal modal kesayangan guru, akhirnya aku di informasikan kalau formulir PMDK UI sudah ada namun hanya tersedia 5 buah. Aku tahu aku bukan yang terpintar. Aku Cuma berharap semoga murid-murid dengan ranking di atasku tidak mengambil sehingga aku bisa kebagian. Puji Tuhan doaku terkabul dan aku kebagian satu formulir.
Tiap hari kerjaanku hanya menanti tukang pos mampir kerumah untuk membawa kabar namun tidak pernah ada sampai suatu hari sekolah menelepon bahwa surat dari UI sudah ada dan aku keterima disana.
Senang, bangga dan bahagia menjadi satu. Pulang dari sekolah untuk mengambil surat, karena melamun bahagia, di traffic light motorku menyundul bemper mobil. Walau tidak rusak parah, namun pemilik mobil marah-marah. Dan aku hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan mengganti saat itu juga di bengkel.
Mungkin bapak itu iba melihatku dan ketika mobil keluar dari bengkel, dia tidak meminta sepeserpun uang yang aku sodorkan. Puji Tuhan dan semoga bapak itu selalu penuh karunia terbaik.
Tibalah aku di Universitas Indonesia. Mudah? Tidak ferguso. Namun bangga pernah menjadi bagian darinya dan aku juga ingin bilang, Almamaterku, setia berjasa!